Kamis, 13 Maret 2014

SEJARAH SINGKAT FOTOGRAFI JURNALISTIK

SEJARAH Secara singkat dapat dijelaskan bahwa pada awalnya fotojurnalistik hanyalah sebagai foto pendukung sebuah penerbitan saja. Namun dalam perkembangannya fotojurnalistik tak lagi sebagai foto pelengkap. Tetapi fotojurnalistik berkembang pesat dan mampu menjadi sebuah foto berita secara mandiri tersendiri, yang mampu menghebohkan dunia.
Dan kini fotojurnalistik tidak lagi hanya sebagai islustrasi (penglengkap) sebuah naskah berita di dalam sebuah penerbitan saja. Penggunaan teknik fotografi dalam media cetak baru terjadi pada akhir abad 19. Pada edisi tanggal 4 Maret 1877, surat kabar New York Daily Graphic yang terbit di Amerika Serikat memunculkan foto buah karya Henry J. Newton. Foto hitam putih yang menggambarkan pesona tambang pengeboran itu adalah foto perdana di dunia yang diterbitkan pada suatu media cetak. Sejak itu penggunaan foto sering kali menjadi pelengkap berita di dalam koran.
Sementara di Indonesia fotojurnalistik digunakan sebagai alat komunikasi untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Fotojurnalistik di Indonesia, pertama di buat oleh seorang warga negara Indonesia saat terjadi detik-detik ketika bangsa ini berhasil melepaskan diri dari belenggu rantai penjajahan.
Alex Mendur (1907-1984) yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei, dan adiknya Frans Soemarto Mendur (1913-1971), mengabadikan peristiwa pembacaan teks Proklamasi kemerdekaan republik Indonesia dengan kamera Leica. Pada saat itulah pada pukul 10.00 WIB pagi tanggal 17 Agustus 1945 saat dilaksanakan upacara pengibaran bendiri di Pegangsaan Timur, Jakarta foto jurnalis Indonesia lahir. Sejak reformasi tahun 1998, fotojurnalistik di Indonesia terus tumbuh, seiring kebebasan pers Indonesia.
Menurut Oscar Motuloh dalam tulisannya yang berjudul Fotojurnalistik suatu pendekatan visual dengan suara hati, mengungkapkan fotojurnalistik memeiliki karakteristik diantaranya:


1. Dasar fotojurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan tertulis pada teks gambar (teks foto) adalah mutlak. Caption atau teks foto membantu melengkapi informasi dan memahami sebuah imaji (gambar, foto) yang dibagi di tengah-tengah masyarakat. Sehingga keduanya antara gambar (foto) dan berita (teks) memiliki keterikatan yang tak bisa dipisahkan. Sebuah foto mampu memberikan informasi selengkap berita apabila dilengkapi teks foto Berdasarkan standar IPTC International Press Telecomunication Council) teks foto harus selalu melekat di dalam foto itu sendiri. Penulisan teks foto bisa dilakukan pengeditan gambar di dalam photoshops, dengan menuliskannya di dalam file info yang telah tersdia.

2. Mediun foto jurnalistik biasanya disajikan dalam bentuk cetak baik itu surat kabar, tabloid, media internal, brosur maupun kantor berita. Bahkan saat ini media online telah masuk dalam kategori ini, mengingat perkembangan multimedia yang terus tumbuh.
Selain itu penyajian fotojurnalistik juga disajikan secara jujur, bagaimana adanya, tanpa ada rekayasa dalam penyajiannya.
3. Lingkup foto jurnalistik adalah manusia. Itu sebabnya seorang jurnalisfoto mempunyai kepentingan mutlak pada manusia. Posisinya pada puncak piramida sajian dan pesan visual. Menurut Dinny Soutworth menyimpulkan merangkul manusia adalah pendekatan prioritas bagi seorang fotojurnalis, karena kerja dengan sobyek yang bernama manusia adalah segala-galanya dalam profesi tersebut.
4. Bentuk liputan foto jurnalitik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat dan kemampuan seseorang fotojurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita. Menurut Chick Harrity yang telah lama bergabung dengan kantor berita Associated Press (AP), USA dan US News&World Report mengatakan, tugas seorang jurnalisfoto adalah melaporkan berita sehingga bisa memberi kesan pada pembacanya seolah-olah mereka hadir dalam peristiwa yang disiarkan itu.
Tugas fotojunalis adalah melaporkan apa yang dilihat oleh mata kemudian merekam dalam sebuah gambar yang kemudian disampaikan secara luas melalui media massa. Yang memberi kesan bawa pembaca (masyarakat) seolah-olah berada dilokasi peristiwa itu. Itu sebabnya bagi seorang fotojurnalis sangat penting memiliki kemampuan dalam melakukan perekaman yang dituangkan dalam sebuah gambar yang dengan mudah dipahami oleh orang awam (masyarakat luas).
5. Foto jurnalistik adalah fotografi komunikasi, dimana dalam penyajiannya bisa diekspresikan seorang fotojurnalis terhadap obyeknya. Obyek pemotretan hendaknya mampu dibuat berperan aktif dalam gambar yang dihasilkan, sehingga lebih pantas menjadi obyek aktif. Namun dalam perkembangannya kini fotojurnalistik juga merupakan media ekspresi seorang fotojurnalis terhadap hasil karya-karyanya setelah melakukan peliputan. Sehingga tak heran jika dalam sebuah media menyiapkan halamannya secara khusus untuk memajang berbagai macam foto-foto hasil liputan karya fotojurnalisnya.
6. Pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual fotojurnalistik harus jelas dan segera bisa dipahami, oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendapat sendiri atau pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam fotojurnalistik, apalagi melakukan rekayasa. Gaya pemotretan yang khas dengan polesan rasa seni,tidak menjadi batasan dalam berkarya.Yang penting pesan yang disampaikan dapat Di komunikasikan di tengah-tengah masyarakat.
7. Fotojurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang handal, berwawasan visual yang luas, jeli, arif dan bermoral dalam menilai foto-foto yang dihasilkan oleh fotojurnalis. Seorang penyunting (editor foto) juga harus mampu membantu mematangkan ide-ide dan konsep fotojurnalis yang melakukan liputan terhasap sebuah peristiwa. Penyunting foto juga harus mampu memberi masukan, memilih foto agar tidak monoton, hingga melakukan pemotretan ulang terhadap foto-foto yang akan disiarkan.
8.Karena fotojurnalistik menyajikan informasi yang berakurasi tinggi, seorang jurnalis secara langsung merekam peristiwa yang terjadi dilokasi tanpa merekayasa. Praktis karya-karya yang dihasilkan dari hasil peliputan fotojurnalis tak bisa terbantahkan oleh kata-kata. Pada setiap event seperti bentrokan, caos, aksi demo, dsb, seorang fotojurnalis
untuk menilai sebuah foto jurnalistik yang dilihat dari kuat lemahnya sosok penampilan foto berita ialah:
1. Kehangatan/Aktual
Sesuai dengan prasyarat umumnya sebuah berita, subyeknya bukan merupakan hal basi, sehingga betapapun suksesnya pengambilan sebuah foto bila tidak secepatnya dipublikasikan, sebuah foto belumlah
memiliki nilai berita.
2. Faktual
Subyek foto tidak dibuat-buat atau dalam pengertian diatur sedemikian
rupa. Rekaman peristiwa terjadi spontan sesuai dengan kenyataan yang
sesungguhnya, karena ini berkaitan dengan suatu kejujuran.
3. Informatif
Foto mampu tampil dan dalam lebatan yang dapat ditangkap apa yang ingin
diceritakan di situ, tanpa harus dibebani oleh sekeranjang kata.
Pengertian informatif bagi tiap foto perlu ukuran khas. Sedikit berbeda
dengan sebuah penulisan yang menuntut unsur 5W + 1H dalam suatu paket
yang kompak, maka dalam sebuah foto jurnalistik minimal unsur who
(siapa), why (mengapa) jika itu menyangkut tokoh dalam sebuah
peristiwa. Dan keterangan selanjutnya untuk melengkapi unsur 5W + 1H
(sebagai pelengkap informasi) ditulis pada keterangan foto (caption).
4. Misi
Sasaran esensial yang ingin dicapai oleh penyajian foto berita dalam
penerbitan, mengandung misi kemanusian รข€“ merangsang publik untuk
menghargai apa yang patut dihargai atau sebaliknya menggugah kesadaran
mereka untuk memperbaiki apa yang dianggap kurang baik.
5. Gema
Gema adalah sejauh mana topik berita berita menjadi pengetahuan umum,
dan punya pengaruh terhadap kehidupan sehari-hari dalam skala tertentu.
Apakah satu peristiwa atau kejadian cuma bersifat lokal, nasional.
regional atau internasional.
6. Aktraktif
Menyangkut sosok grafis foto itu sendiri yang mampu tampil secara
mengigit atau mencekam, baik karena komposisi garis atau warna yang
begitu terampil maupun ekspresif dari subyek utamanya yang amat
dramatis.

Unsur-Unsur Komposisi Foto Jurnalistik
Obyek dominan/kontras
Dalam membuat komposisi sebaiknya harus ada satu obyek yang menjadi point of interest (pusat perhatian). Menjadi obyek yang mendominasi. Tanpa obyek yang dominan sebuah komposisi terasa hambar, tanpa nyawa. Ibarat sebuah cerita, harus ada satu tokoh yang menjadi lakon, di mana semua pemain menuju ke arah tokoh utama itu.
Balance
Ada berbagai macam balance: simetris, radial, formal dan informal. Semua bisa teraplikasi untuk mendapatkan keseimbangan visual, sehingga sebuah komposisi tidak berat sebelah dan terasa enak dipandang mata.
.
Unity
Sebuah satu kesatuan. Itulah yang diharapkan penyusunan. Meski banyak obyek yang berbeda-beda warna atau bentuk, sebuah komposisi harus menyatu, bercerai berai. Makanya dalam sebuah komposisi harus ada the unifying element, sebuah elemen yang bisa menyatukan obyek yang bercerai-berai tadi: bisa warna, garis, maupun tekstur.
.
Repetisi/ konsistensi
Repetisi memberi irama. Ibarat musik, repetisi adalah ketukan. Dalam komposisi repetisi bisa menghasilkan kesan tapi dinamis. Obyek-obyek tersusun hampir sama, tapi setiap obyek berbeda. Senanda tapi melonjak-lonjak. Itulah repetisi atau bisa juga dikatakan irama, atau boleh disebut konsistensi.
.
Aligment/ garis semu
Salah satu prinsep yang tidak bisa diremehkan. prinsip ini tanpa disadari memberikan dinamisme, memberikan keteraturan. Garis semu diibaratkan besi sembrani yang menarik obyek-obyek di sekitarnya dan mengikuti alur sang besi tadi. Hasilnya sebuah komposisi yang seolah-olah mengikuti pola, meski pola itu tak terlihat.

White Space
Seni ‘ketiadaan’ adalah elemen penting dalam komposisi. Jika diterapkan dengan benar, white spece bisa memberi kesan elegan, nafas, istirahat. Dalam sebuah komposisi harus ada bidang tempat kita bersantai di antara carut marut obyek.

Balance
Assymmetrical balance
Pada Keseimbangan Asimetris, obyek-obyek foto tidak ditempatkan seperti sebuah obyek di depan cermin, melainkan bebas tetapi berat antara obyek-obyek di kiri seimbang dengan masa obyek-obyek yang ada di sebelah kanan.
Demikian Sejarah Singkat Fotografi Jurnalistik semoga bermanfaat




0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.