Tan Sitong (Lahir 10 Maret 1865-28 September 1898) adalah seorang reformis pada masa akhir Dinasti Qing. Ia adalah tokoh kunci dalam Reformasi Wuxu atau yang juga dikenal dengan nama Reformasi Seratus Hari, sebuah gerakan politik yang bertujuan mereformasi sistem monarki feodal di Tiongkok. Tan dilahirkan di Liuyang, Provinsi Hunan dari keluarga seorang pejabat rendahan. Ibunya telah meninggal ketika dia kecil sehingga dia hidup di bawah perlakuan buruk ibu tirinya. Sejak usia dini, ia sudah membaca banyak karya literatur dan sudah mengenal berbagai macam filsafat. Bersama ayahnya, dia mengunjungi banyak tempat di Tiongkok dari wilayah utara hingga selatan dan dari sana dia menyaksikan pahit getirnya kehidupan rakyat jelata.
Ketika menginjak usia dewasa di Hunan dia mendirikan harian reformis bernama Xiang Bao(湘报)dan menulis buku yang berjudul Ren Xue (仁学, Ilmu Kebajikan). Selain itu, Tan juga menulis banyak puisi yang isinya kebanyakan mengekspresikan ketidakadilan sosial dan ide-ide anti-feodalisme. Pada tahun 1896, bersama seorang reformis lainnya, Liang Qichao, dia menulis puisi modern yang merepresentasikan suara hati kaum terpelajar yang merindukan kebudayaan dan pola berpikir yang baru.
Di Hunan, kampung halamannya, Tan terlibat dalam reformasi tingkat lokal yang diprakarsai gubernur Chen Baozhen. Reputasinya semakin lama semakin menanjak hingga akhirnya Kaisar Guangxu yang berpikiran moderat memanggilnya untuk audisi dan meminta sarannya untuk membantu memperbaiki kondisi dalam negeri yang saat itu sudah bobrok akibat invasi bangsa asing dan pembusukan dalam tubuh pemerintahan. Kaisar merestui proposal reformasi Tan dan tanggal 11 Juni 1898 dia mengeluarkan ‘dekrit stabilitas nasional’ sebagai tanda dimulainya reformasi. Gerakan ini dikenal dengan nama Reformasi Wuxu sesuai sistem penanggalan Tiongkok. 20 Juni, Tan diangkat sebagai salah satu anggota dewan untuk melaksanakan reformasi tersebut.
Hingga bulan September, kaisar telah mengeluarkan sejumlah dekrit yang memfasilitasi pertumbuhan kapitalisme di Tiongkok serta pengadopsian teknologi dan ilmu pengetahuan barat demi kemajuan Tiongkok. Hal ini didukung oleh kaum pengusaha, tuan tanah, dan intelektual, namun mendapat tentangan keras dari kaum konservatif di bawah pimpinan Ibusuri Cixi yang ambisius. Tan mencoba memperoleh dukungan militer dari jenderal Yuan Shikai yang tertarik dengan reformasi. Kepada Yuan, Tan mengusulkan untuk memenjarakan Cixi dan membunuh Ronglu, orang kepercayaan Cixi. Namun sayangnya, Yuan mengkhianati Tan dengan membocorkan rencana ini pada Cixi.
21 September 1898, Cixi dan Ronglu melakukan kudeta. Kaisar Guangxu dikenai tahanan rumah dan para reformis diburu. Tokoh reformis seperti Kang Youwei dan Liang Qichao memilih kabur ke luar negeri untuk
menyelamatkan diri. Namun Tan tidak, secara heroik dia menyatakan siap mati demi reformasi dan demi negara. Dia hanya menyerahkan karya-karya tulisnya pada Liang sebelum dia berangkat dan berpesan agar tulisan-tulisan itu disebarluaskan demi membuka pemikiran bangsa Tionghoa.
Sebagai upaya terakhir, Tan menyuruh seorang ahli silat, Wang Wu, untuk menyusup ke istana dan menyelamatkan kaisar, namun upaya ini gagal. Tan pun mengurung diri di rumahnya menanti tentara datang menangkapnya. Beberapa hari kemudian, tentara Qing benar-benar datang dan menangkapnya. Tan melewati hari-hari terakhirnya di penjara dengan tenang tanpa rasa takut akan kematian. Tanggal 28 September 1898, bersama lima tokoh reformasi lainnya, Tan digiring ke pasar sayur Beijing untuk menjalani hukuman mati. Ia menghadapi maut dengan berdiri tegak tanpa ekspresi takut. Keenam orang ini dikenal sebagai “Enam martir Reformasi Wuxu”
0 komentar:
Posting Komentar